Baca, Baca, dan Baca (Refleksi Hari Buku Nasional Tanggal 17 Mei 2021 )

 

Kalau Bapak Jokowi biasa bilang “kerja, kerja, dan kerja”, maka untuk menyelamatkan pendidikan kita dari krisis situasi normal, kita juga harus bilang “baca, baca, dan baca”. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar nasihat yang menjadi inspirasi dari seorang guru waktu kita masih sekolah dulu, saya sendiri masih ingat sampai sekarang, “ belajar bisa dimana saja dan kapan saja”, dulu pemahaman kita mungkin sebatas belajar di sela-sela kesibukan kita, misalnya belajar sambil membantu orang tua bekerja, belajar sambil duduk di atas pohon, mungkin belajar sambil memancing, intinya selain di sekolah kita bisa belajar dimanapun kita berada.

Namun sekarang belajar di mana saja itu sebuah keharusan karena kita dilarang untuk bertatap muka secara langsung lantaran virus covid 19 yang mematikan, bahkan belajar di atas pohon menjadi solusi untuk bisa tetap terkoneksi dengan jaringan internet (khusus daerah-daerah terpencil). Semenjak wabah corona melanda dunia, bahkan sampai sekarang kita semacam larut dalam pola kebiasaan yang baru yaitu era new normal. Banyak hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal saat wabah corona menyerang rutinitas manusia. Tatap muka secara maya sambil berbincang-bincang tentang hal-hal penting sudah menjadi kebutuhan vital saat sekarang, mungkin kita tidak pernah membayangkan bahwa kita sekarang ada di peradaban yang baru.  

Selain menyerang kesehatan manusia, virus corona juga menyerang budaya pendidikan kita. Budaya pendidikan kita yang selama ini kita jalankan mendapat ancaman dari tatanan kehidupan yang baru (era new normal). Ancaman seperti apa yang saya maksudkan?, jawabannya adalah apabila kita tidak teguh memegang prinsip dalam kultur (culture) pendidikan kita, maka bisa dipastikan kualitas pendidikan kita bisa merosot jauh dari harapan. Memang untuk menjawab persoalan-persolan pokok pendidikan kita, kita sekarang sudah dimudahkan dengan berbagai kemajuan IPTEK yang mendukung aktivitas utama kita sehari-hari termasuk aktivitas di sekolah,namun pendidikan memiliki dimensi yang jauh, dalam artian ada kultur atau ciri khas pendidikan kita yang tidak boleh dilupakan sampai kapanpun.

Kultur  khas pendidikan kita yang saya maksudkan adalah budaya membaca, walaupun kita sudah dipermudah dengan teknologi maya untuk bertatap muka namun budaya membaca tidak boleh ditinggalkan karena itu yang menyelamatkan nasib pendidikan kita. Budaya membaca lambat laun terkikis dengan pesatnya kemudahan-kemudahan teknologi yang berupa aplikasi-aplikasi yang dapat menghubungkan komunikasi antara manusia. Walaupun kemungkinan tahun pelajaran yang baru akan dimulai pada bulan Juli 2021 itu tidak menjadi persoalan, yang menjadi persoalan adalah kita tidak boleh terlarut dengan kemudahan-kemudahan teknologi yang menjadi alternatif dalam berkomunikasi terlebih khusus di sekolah-sekolah.  Budaya membaca harus terus disuarakan bahkan bila perlu sedikit dipaksakan agar kultur khas pendidikan kita jangan di kesampingkan.

Menurut pengakuan Bapak Menteri Pendidikan dalam rapat kerja bersama komisi X DPR, kamis 18 maret 2020 (CNN Indonesia,18/3/2021) bahwa dari semua 23 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, 85 persen dari semua negara tersebut sudah membuka sekolah, kita tertinggal, kita hanya 15 persen sekolah yang sudah di buka. Hemat saya memang tatap muka secara langsung di sekolah-sekolah itu menjadi prioritas pertama, namun kebijakan ini harus terus di lihat dari situasi dan kondisi wabah Covid 19 yang masih terus mengancam kehidupan manusia khususnya kita Indonesia. Selain kebijakan tatap muka pada sekolah-sekolah, budaya membaca juga harus di buat semacam kebijakan atau seruan yang sedikit memaksa para pelaku pendidikan terlebih khusus di sekolah-sekolah. Sekali lagi ancaman corona bukan hanya keselamatan nyawa manusia namun corona juga mengancam cultur khas aspek kehidupan kita yang menjadi sendi utama peradaban manusia khususnya budaya membaca di sekolah-sekolah.

“Buku adalah jendela dunia” jangan sampai hanya karena keganasan virus Covid 19, jendela bisa kita tutup bahkan kita enggan membukanya lagi lantaran ketakutan kita melampui mimpi kita kepada ibu pertiwi tanah tumpah darah Indonesia tercinta. Terima kasih.

 

Daniel Ropa Djawa

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *