Tema Ujian Nasional (UN) tidak habis-habisnya menjadi bahan pembicaraan dalam masyarakat kita. Tulisan berikut diambil dari Majalah HIDUP tanggal 07 April 2013 (hal. 50) yang ditulis oleh Fidelis Waruwu, Direktur Education Training dan staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Semangat Ujian Nasional (UN) sejak 2004 adalah untuk mengendalikan mutu pendidikan. Wakil Presiden RI saat itu, Jusuf Kalla menjelaskan gagasan dasarnya: pemerintah menentukan standar minimal kelulusan. Tidak ada toleransi bagi mereka yang tidak mampu melewati standar minimal dari sejumlah pelajaran yang diujikan.
Maka, semua pihak dipaksa bekerja keras: siswa guru, orangtua, masyarakat dan pemerintah. Menurut Jusuf Kalla, UN merupakan mekanisme peningkatan mutu pendidikan paling murah dan mudah dilaksanakan. Secara logik, ide Jusuf Kalla itu benar. Masyarakat kita tercengang ketika UN pertama kali digelar, ada banyak sekolah yang muridnya tidak satu pun lulus, padahal selama ini selalu 100 persen.
Menghadapi standar UN yang begitu keras muncullah berbagai penyelewengan sebagai efek samping. Terjadi kebocoran soal, jual beli kunci jawaban, pembentukan tim sukses di unit sekolah, kesepakatan di tingkat rayon agar pengawas membiarkan siswa yang mengikuti UN bekerjasama, pencontekan massal, penggunaan kertas contekan, dan pengiriman kunci jawaban melalui ponsel ke siswa. UN telah memaksa beragam tindak kecurangan nasional.
Tentu saja, ini berdampak buruk pada mentalitas generasi bangsa. Betapa tidak, mereka sendiri mengalami secara langsung bagaimana ketidakjujuran dilakukan guru, orangtua, dan kepala sekolah. Nanti setelah 30-40 tahun kemudian, ketika para siswa ini menjadi pemimpin bangsa, mereka sudah siap dengan mentalitas menghalalkan segala cara agar mencapai tujuan pribadinya. UN bukannya meningkatkan mutu generasi bangsa tapi menyiapkan generasi dengan mental tidak jujur di masa depan.
Setelah Putusan Kasasi Mahkamah Agung pada September 2009, yang membatalkan UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan, maka Pemerintah mengubah kebijakan syarat kelulusan: UN menyumbang 60% dan Ujian Sekolah (US) diberi porsi 40%. Efek samping kebijakan ini lebih dahsyat lagi, karena para guru menuliskan nilai rapor yang semua baik saja.
Pada beberapa sekolah, anak didik pun tidak perlu berusaha keras, karena nilai rapor dipastikan bagus pada akhir tahun pelajaran. Kepala sekolah yang melaporkan nilai US siswa di bawah standar pasti dipanggil dan diperintahkan untuk mengganti nilai siswa tersebut. Dalam sistem kebijakan ini, hanya sebagian sekolah swasta yang mampu bertahan menegakkan disiplin moral bagi siswa.
Sebagian sekolah swasta lainnya ikut arus dan ikut-ikutan memperbaiki nilai rapor siswa, walau tahu hal itu salah. Bahkan ada sekolah yang masih membantu siswanya mencontek massal, sesuai instruksi dari dinas pendidikan di daerahnya masing-masing. Singkat kata, sistem UN telah mengondisikan perilaku tidak jujur pada para pelaku pendidikan. Korban UN adalah siswa, generasi muda yang dikondisikan membiasakan mental tidak jujur dan tidak menghargai kerja keras.
Sekarang, bagaimana seharusnya kita bersikap? Jelas kita tidak bisa menolak UN bila itu menjadi kebijakan pemerintah. Namun kita bisa tetap mempertahankan sikap jujur, mempersiapkan siswa dengan sebaik-baiknya dan mendukung guru, kepala sekolah yang mempertahankan sikap jujur ini. Kita juga perlu melibatkan orangtua untuk ikut serta memperjuangkan kejujuran dalam diri putra-putrinya.
Selain itu, dukungan para pemimpin juga sangat dibutuhkan. Seperti yang dilakukan Uskup Agung Merauke Mgr. Nicholas Adi Seputra MSC yang menggalakkan Gerakan Kejujuran. Pada 2011 ada beberapa sekolah yang muridnya tidak lulus, Uskup pun datang mengunjungi, memberi peneguhan, dan dukungan kepada kepala sekolah tersebut. Sudah saatnya pemimpin memberi dukungan nyata kepada setiap kepala sekolah yang ada pada wilayah penggembalaannya.