Kode Etik Guru Diberlakukan Mulai 1 Januari 2013.

Tulisan yang diambil dari TubasMedia. com ini kiranya menggugah hati para siswa/i, orang tua murid dan masyarakat luas agar hak-hak guru untuk membina dan mendidik siswa/i di sekolah tidak ditafsirkan sebagai pelanggaran hak asasi anak, lantaran  guru menjewer atau menampar siswa, lalu berakibat pada mempolisikan guru. Dengan adanya MoU antara Kapolri dengan PGRI, guru diberi ruang gerak untuk mendidik para siswa pada batas-batas kewajaran mendidik. Selamat membaca!

 

BOGOR, (TubasMedia.Com) – Keputusan bersama Kapolri dengan PGRI, bahwa guru nakal tidak bisa langsung dipolisikan, merupakan kado istimewa bagi guru di Hari Guru Nasional ke-67 akhir November 2012. Hal ini dibenarkan Sulistyo, Ketua Umum Pengurus Besar (Ketum PB) PGRI. Ia menuturkan, keputusan bersama (MoU) pihaknya dengan kepolisian sudah pada tahapan finalisasi dan keluar pada 15 November 2012 oleh Bareskrim Mabes Polri. Hak “istimewa” guru ini merupakan konsekuensi diberlakukannya kode etik guru pada 1 Januari tahun 2013. Hak istimewa guru ini sama dengan apa yang diperoleh Insan Pers (Wartawan) pada saat ulang tahun PWI yang ke-66 di Provinsi Jambi, di mana di situ juga ditanda tangani nota kesepakatan antara Kapolri dan Ketua Dewan Pers, bahwa wartawan tidak bisa dipolisikan kalau ada tulisan yang dimuat oleh media massa, dianggap salah oleh sumber berita atau objek berita. Wartawan tidak bisa langsung dilaporkan ke polisi dengan sangkaan perbuatan pidana pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Sumber berita atau objek berita memberikan hak jawab terlebih dahulu dan diselesaikan lewat Dewan Pers.
Di sinilah kebebasan pers merasa terlindungi seperti apa yang didapat guru saat ini. Kode etik ini nantinya harus dijalankan semua guru yang tergabung dalam organisasi profesi guru yang ada di Indonesia. Menurut Sulistyo, setelah kode etik ini diterbitkan, seluruh pelanggaran profesi guru akan diproses oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Misalnya, menjewer atau menampar siswa yang nakal, atau menegur dengan suara yang sedikit bernada keras selama ini dilaporkan ke polisi, padahal hanya masalah yang sepele.
Namun, jika kesalahan yang dibuat guru bukan dalam konteks profesi guru, seperti narkoba, pembunuhan, hingga teroris, polisi bisa langsung memproses tanpa melewati DKGI. Sulistyo menyebutkan bahwa saat ini DKGI sudah dibentuk di tingkat pusat, provinsi, bahkan di tingkat kabupaten dan kota. Sekarang timbul pertanyaan bagaimana dengan, apa bila ada guru yang korupsi, atau melakukan perbuatan asusila dan tindak kriminal lainnya seperti penipuan, penggelapan. Bagaimana sikap DKGI menghadappi perilaku guru seperti ini? Kalau dalam dunia pers ada kesepakatan antara Kapolri dan Ketua Dewan Pers hanya masalah tulisan yang mengarah pencemaran nama baik saja yang tidak bisa dilaporkan pada polisi, namun tindak pidana lainnya tetap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pada teknis pelaksanaannya nanti, jika ada perselisihan antara masyarakat dengan guru terkait kode etik profesi guru, maka harus dilaporkan ke DKGI kabupaten atau kota setempat. Selanjutnya DKGI menjalankan proses penegakan kode etik hingga tahap persidangan. “SOP (standard operational procedure) persidangannya sudah disiapkan,” tutur Sulistyo. Hasil dari persidangan ini bisa berujung pemberian sanksi, baik sanksi administrasi, kepegawaian, maupun hukum pidana. Pada masing-masing sanksi tadi, ada kategori ringan, sedang maupun berat. “Jika putusan sidang di Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) menjatuhkan vonis sanksi hukum pidana, baru diserahkan ke pihak kepolisian. Dan guru juga memiliki hak banding atas putusan itu,” ujar Sulistyo. (Daryono).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *