Oleh: Matius Marambi Ng
“Hari ini memperbaiki hari kemarin, untuk hari esok yang lebih baik”
Manusia diciptakan seturut gambar dan citra Allah. Begitulah kata Kitab Suci Perjanjian Lama. Karena di dunia tidak ada makhluk lain yang memiliki gambar dan rupa sama dengan manusia, maka manusia adalah satu-satunya makluk ciptaan Allah yang merupakan gambar dan citra Allah.
Dalam injil, Yesus mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih, saling menghargai, dan saling menghormati. Ini merupakan sebagian kecil pandangan kitab suci tentang manusia, yang menjadi dasar iman dan perilaku kita sebagai manusia. Dalam perlakuan kita terhadap manusia, kita dituntut untuk menghargai harkat dan martabat manusia tersebut. Demikian juga dalam dunia pendidikan seorang pendidik dituntut untuk meghargai harkat dan martabat peserta didik.
Fakta di lapangan, kita sering menjumpai perlakuan pendidik yang tidak menghargai kemanusian perserta didik dan berimplikasi pada kekerasan. Kekerasan yang dimaksud bukan hanya kekerasan fisik tetapi termasuk juga kekerasan verbal, seperti menghina, mencemooh, menjelek-jelekan, atau mengejek. Pendidik sering berdalih bahwa praktek kekerasan merupakan cara untuk mendidik yang efektif karena menimbulkan efek jera. Padahal jika dicermati secara lebih mendalam perlakuan-perlakuan tersebut tidak berimplikasi langsung pada tujuan pendidikan. Kita pasti pernah dipukul/dicubit karena tidak dapat mengerjakan tugas atau melanggar peraturan. Setelah peristiwa tersebut muncul keinginan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sesungguhnya keinginan tersebut hanyalah bentuk ketakutan kita pada pada hukuman, bukan karena kesadaran.
Ketegasan yang kebablasan

Seorang manusia, tidak terkecuali pendidikan, memiliki keinginan untuk menunjukkan kewibawaannya kepada orang lain. Kewibawaan merupakan semangat dan suasana hubungan antara dua individu atau lebih yang memancarkan kelebihan seseorang dalam aroma pengakuan dan penerimaan yang nyaman dan tulus dari orang lain (Prayitno dan Belferik, 2011). Pendidik seringkali menerapkan cara yang salah untuk menegaskan kewibawaan, seperti memukul atau menghukum perserta didik. Sebenarnya unsur-unsur kewibawaan yang berupa pengakuan dan penerimaan, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, tindakan tegas yang mendidik, pengarahan dan keteladanan, tidak mempunyai satu unsurpun yang berimplikasi kekerasan. Saya pernah mengalami, seorang guru menuntut seluruh siswa dalam sebuah kelas untuk meminta maaf kepadanya, karena ada siswa dalam kelas tersebut yang melakukan kesalahan terhadap guru yang bersangkutan. Sebelum para siswa meminta maaf, guru tersebut tidak akan mengajar di kelas itu. Ini merupakan salah satu contoh kekerasan verbal yang dilakukan oleh pendidik dan cara tersebut tidak dapat dibenarkan. Keinginan untuk mengubah perilaku peserta didik yang kurang/tidak dikehendaki harus dilakukan melalui penyadaran peserta didik atas kekeliruannya itu dengan tetap menjunjung harkat martabatnya dan hubungan baik antara siswa dan pendidik (Raka dkk, 2011), bukan dengan cara memarahi siswa, karena permintaan maaf mereka hanya wujud ketakutan pada ancaman guru dan bukan kesadaran atas kekeliruan. Pengakuan pendidik terhadap peserta didik merupakan awal dari wujud bahwa “pendidikan merupakan upaya pemuliaan kemanusiaan manusia” (Prayitno dan Belferik, 2011). Pengakuan yang dirasakan oleh peserta didik dari pendidik, akan menumbuhkan hal yang sama pada diri perserta didik terhadap pendidik. Memang dalam mendidik, pendidik dituntut untuk bersiap tegas. Tegas bukan berarti harus tampil menakutkan di hadapan peserta didik, dengan kekerasan fisik dan serangan verbal. Menghilangkan kekerasan dan menggantinya dengan upaya yang konsisten dengan harkat dan martabat manusia, pengakuan dan penerimaan, kasih sayang, dan kelembutan, merupakan ketegasan yang manusiawi, yang diharapkan dari seorang pendidik. Kekerasan sesungguhnya hanyalah bentuk ketegasan pendidik yang kebablasan.
Di ujung cambuk ada kekerasan
Masih banyak pihak yang berpendapat bahwa kekerasan masih dibutuhkan dalam pendidikan. Pendapat tersebut secara sengaja menempatkan kekerasan sebagai alat pendidikan. Dengan kata lain, kalau mau pendidikan berhasil, maka pendidik harus menerapkan kekerasan (Prayitno dan Belferik, 2011). Dalam implementasinya di lapangan, pendidik menafsirkannya secara tidak proporsional dan hal ini mengakibatkan timbulnya kekerasan oleh pendidik kepada peserta di luar batas-batas kewajaran sebagai manusia yang bermartabat.
Ada ungkapan, “kemarahan guru adalah wujud cinta kepada murid” atau ungkapan lain ”di ujung cambuk guru, di sana ada emas”. Ungkapan-ungkpan tersebut secara tidak langsung membenarkan praktik kekerasan pendidik kepada peserta didik. Padahal kenyataan yang dialami perserta didik bertolak-belakang dengan ungkapan-ungkapan di atas. Yang dialami peserta didik justru, “kemarahan guru menimbulkan ketakutan bagi siswa”, atau “di ujung cambuk guru ada kekerasan, dan di ujung kekerasan ada celaka bagi siswa”, dan efek domino bagi guru “di ujung kecelakaan ada hukum, dan terakhir penjara menanti”.
Saya berharap agar kita sepakat untuk menghilangkan kekerasan dalam bentuk apapun dari dunia pendidikan. Sebab kekerasan justru banyak berimplikasi negatif bagi peserta didik yang pada akhirnya tidak tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Saya pernah bertanya kepada seorang dosen dari Rotterdam University dalam sebuah seminar, “Apa pendapat anda tentang kekerasan yang sering dilakukan oleh guru di sekolah? Beliau menjawab singkat sekali “Five-s” (stupid, stupid, stupid, stupid, and stupid). Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan adalah sebuah kebodohan, dan kebodohan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh alias tidak berpendidikan.
Mendidik dengan hati
Kekerasan atau hukuman dapat mengakibatkan kesenjangan pada diri sasaran hukuman seperti, merasa di rendahkan/dihina, cedera fisik, menjauhkan diri, rusak hubungan pribadi, dan lain-lain. Oleh sebab itu pendidik diharapkan sebisa mungkin menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kesenjangan dengan peserta didik. Salah satu cara untuk menghindari kesenjangan ialah mendidik dengan hati. Mendidik dengan hati dalam hal ini mendidik dengan kewibawaan yang memuliakan kemanusiaan manusia. Tindakan tegas yang diambil pendidik bukan didasarkan pada kondisi negatif pendidik terhadap peserta didik, seperti tidak senang, marah, tersinggung, tidak puas, merasa dirugikan, dan lain-lain. Segala tindakan harus didasarkan pada naluri kependidikan yang tidak menghendaki peserta didik terjerumus kepada kesalahan-kesalahan yang merugikan peserta didik.
Selama kuliah saya bertemu dengan seorang dosen yang menurut saya adalah sosok pendidik yang tegas dan berwibawa. Dalam setiap mata kuliah yang ia ampuh, tidak kurang dari 60% mahasiswa tidak lulus. Ia adalah pribadi tidak suka komporomi soal nilai. Tetapi di sisi lain ia sangat disenangi oleh mahasiswa dan ia satu-satunya dosen yang mampu membangun hubungan pribadi yang baik dengan setiap mahasiswa didikannya. Ia mengenal sebagian mahasiswa secara personal. Hal tersebut membuat mahasiswa tidak sungkan untuk bertanya kepadanya atau hanya sekedar bercengkerama. Pribadi seperti ini sangat jarang dijumpai dalam dunia pendidikan kita.
Efek kekerasan menurut psikologi kognitif
Kesenjangan antara pendidik dan peserta didik yang diakibatkan oleh kekerasan/hukuman dapat menciptakan hubungan yang kurang harmonis selama proses pendidikan. Akibatnya peserta didik menjadi tidak rileks dan tertekan. Menurut Rose dan Nicholl (1997) manusia dapat menerima informasi dengan baik dalam situasi santai, tenang, dan senang, karena dalam situasi tersebut emosi positif dalam keadaan aktif, endorphin transmitter (zat-zat keceriaan) terbentuk. Akibatnya otak dapat berfungsi dengan sendirinya secara efisien. Sedangkan jika timbul emosi negatif maka otak akan bergerak ke wilayah primitif sehingga banyak informasi yang tidak sampai ke neokorteks (otak berpikir). Oleh karena itu guru harus selalu menciptakan suasana belajar yang santai dalam rasa kebersamaan dan saling membantu.
Saya ingin mengambil contoh dari basic pendidikan saya, yakni pendidikan matematika. Dalam pembelajaran di sekolah, guru matematika adalah sosok paling menakutkan. Guru matematika dikenal sebagai tenaga pengajar yang serius, perfeksionis, dan cenderung “kaku” (Once Kurniawan, 2005). Sikap serius, perfeksionis, dan kaku, secara tidak sadar sebenarnya merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam pendidikan kita, karena menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan bagi peserta didik. Ketakutan dan ketidaknyamanan beimplikasi pada konsentrasi belajar yang menurun dan kemerosotan prestasi belajar.
Sumber Pustaka:
Kuniawan, Once. 2004. “Tantangan dan Kreatifitas Mengajar Matematika di Era Digital”, Jurnal Ilmiah Matematika Statistik, Vol 4, No. 2: 101-103.
Prayitno dan Manullang, Belferik. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Grasindo
Raka, Gede dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Rose, Colin and Nicholl, J. 1997. Accelerated Learning For The 21st Century. London: Judi Piatkus.