Sepenggal Kisah Hidup Yonathan Lu Walukati

Yonathan Lu Walukati adalah siswa kelas X-MIPA 1 di SMA Katolik Anda Luri pada tahun ajaran 2014/2015. Ia mengalami cacat fisik sejak kecil. Salah satu kakinya cacat bukan karena diamputasi, tetapi cacat bawaan sejak ia dilahirkan. Cacat fisik yang dialaminya sejak ia dilahirkan tidak membuatnya patah semangat tetapi justru menjadi motivasi baginya untuk menatap masa depan yang lebih baik dan bertekad meraih cita-citanya. Tidak ada kata menyerah baginya dalam hal menuntut ilmu. Namun sebagai manusia biasa, tentu ia juga merasa galau dan menyadari keberadaannya. Dengan segala keterbatasan fisiknya ia tetap menuntut ilmu dari SD hingga ia duduk di bangku SMA sekarang ini. Ketika di SMA, ia telah menggunakan kaki palsu. Sebelumnya ia tidak menggunakan kaki palsu, namun ia tetap beraktivitas seperti biasa sebagaimana layaknya seorang anak yang normal. Untuk itu mari kita ikuti kisahnya  yang tertuang dari lubuk hatinya yang sangat dalam, yang dituangkannya lewat sebuah tulisan. Selamat membaca.

Nama saya Yonathan Lu Walukati. Saya adalah anak kelima dari enam bersaudara dan dilahirkan pada tanggal 22 Juli 1998 dari pasangan suami istri Hewa Ndamu Namu dan Laka Tamar. Kedua orang tuaku adalah petani. Kakak saya yang pertama bernama Melkianus Kabonju Hita (Melky). Sekarang ia sedang kuliah di Surabaya. Kakak kedua saya bernama Dominggus Nggala Hamba Ndima (Minggus). Ia telah lulus SMA tetapi tidak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Kakak saya yang ketiga bernama Nobertus Ndamung Rada Muri (Nober). Ia tidak lulus SMP dan tidak melanjutkan sekolah. Kakak saya yang keempat bernama Marselinus Warat Leo Mbani (Linus). Ia pernah bersekolah di SMA Katolik Anda Luri tetapi tidak sampai tamat. Adik saya Arnoldus Yansen Ndapa Tamu (Semi) masih duduk di bangku SD.

Bapak saya tidak mengenyam pendidikan apa-apa dan mama saya hanya tamatan SD. Walaupun keduanya adalah petani dan hidup susah, mereka tetap berupaya dan berjuang semaksimal mungkin untuk menyekolahkan kami anak-anaknya. Semua dilakukan demi kebahagiaan kami. Hal itulah yang mendorong dan memotivasi saya untuk terus belajar demi tercapainya tujuan utama saya yakni melihat kedua orang tua saya tersenyum bahagia karena keberhasilan saya. Kalau orang tua saya mampu, saya ingin menjadi dokter.

Saya lahir pada tanggal 22 Juli 1998 dalam keadaan cacat. Memang sulit bagi saya untuk berbaur dengan teman-teman yang lain sebab saya mempunyai kekurangan. Saya berpikir, dunia ini tidak mungkin menerima saya dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Tetapi saya berusaha semampu saya untuk menepis perasaan ini karena jika saya tidak sanggup mengubah keadaan lingkungan saya, maka sayalah yang harus berubah. Walaupun saya terlahir dalam keadaan cacat fisik, hal ini tidak membuat saya menyerah dan merenungi nasib. Situasi ini memotivasi saya untuk  terus berjuang agar dunia ini bisa menerima saya. Dan saya sangat bersyukur sebab saya hanya cacat fisik karena kalau saya cacat mental maka saya hanya akan menjadi seonggok daging yang tercipta tak berguna dan tidak akan ada artinya.

“Jangan batasi Allah dengan keterbatasanmu” itulah motto hidup saya. Bagi saya, cacat bukanlah suatu penghalang untuk mengejar cita-cita yang telah saya gantung setinggi Menara Eifel. Dengan keadaan saya yang seperti ini, seringkali perkataan ”mengejek” yang keluar dari mulut orang membuat saya malu, kecewa dan sakit hati. Pernah juga terlintas dalam benak saya, “Mengapa saya dilahirkan di dunia ini dalam keadaan cacat?” Apakah ini dosa saya sehingga saya harus seperti ini? Jika ya, apa dosa saya? Mengapa harus saya? Itulah pertanyaan yang selalu keluar dari hati saya di setiap sedihku. Ingin rasanya saya menyalahkan Tuhan karena Tuhanlah yang menciptakan saya sehingga saya menjadi seperti ini. Namun, ketika saya bergumul sendiri untuk merefleksikan jalan hidup saya yang seperti ini, sayapun mendapatkan jawabannya.

Kini, saya telah menyadari bahwa Tuhan menciptakan saya dengan keunikan saya sendiri sebab saya berharga di mata Tuhan. Dengan berpegang pada prinsip itu, saya menjadi yakin bahwa Tuhan menciptakan saya sempurna adanya sebab saya serupa dan segambar dengan Allah. Dan sayapun tidak tahu bahwa apa yang mereka katakan tidaklah salah melainkan benar adanya, sebab mereka berkata berdasarkan kenyataan yang tidak bisa saya pungkiri. Ketika saya merenungkan jalan hidup saya, saya sadar bahwa saya tidak bisa merubah kenyataan yang ada, meskipun pedih dan sakit rasanya ketika harus hidup dalam perbedaan. Tetapi inilah saya dan inilah hidup saya dengan segala keterbatasan yang saya miliki yang harus saya terima.

Jujur, saya malu kepada teman-teman saya di sekolah dan kepada semua orang yang berada di sekeliling saya karena mereka tahu kekurangan saya. Tetapi saya lebih malu apabila Tuhan tahu bahwa saya tidak menerima hidup saya yang telah Tuhan berikan kepada saya. Ketika saya tersenyum, ketika saya tertawa, ketika saya bercanda gurau dengan teman-teman dan ketika saya marah-marah, itu semua saya lakukan hanya untuk menutupi betapa lemahnya diri saya. Saya tahu bahwa saya tidak sempurna tetapi saya yakin dan percaya bahwa Tuhan punya rencana yang indah bagi hidup saya. Oleh karena itu, apa yang ada pada diri saya, harus saya terima dengan lapang dada tanpa harus mengeluh dan marah kepada Tuhan karena Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi hidup saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *